Sabtu, 26 November 2011

Makalah - Nilai - Nilai Perdamaian dalam Islam


MAKALAH
NILAI-NILAI PERDAMAIAN DALAM ISLAM
Di Susun Guna Memenuhi Tugas Metedologi Study Islam

Dosen Pembimbing:
Syahrul Munir, S. Ag, M. Pd.I
Logo







Di Susun Oleh:




Di Susun Oleh:

Ita Fatmawati
Ahmad Musthofa
Ahmad Syafi’udin
Juminto
M. Subaikhul Arifin

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM RADEN QOSIM (STAIRA)
YAYASAN PONDOK PESANTREN SUNAN DRAJAD
BANJARANYAR PACIRAN LAMONGAN
2011
A. PENDAHULUAN

Secara esensial, Islam mengandung makna “perdamaian”  dan mensosialisasikan kedamaian. Islam memimpin ke jalan damai, menuntun berhati sabar, semuanya di atas dasar kebenaran dan keadilan. Saat ini jumlah pemeluk Islam di dunia lebih dari satu miliar orang. Dari jumlah tersebut ternyata yang berlatar belakang Arab 18 persen, sisanya 82 persen non-Arab. Itu menunjukkan bahwa Islam bukan semata Arab. Secara geografis Islam pun menyebar di seluruh pelosok bumi. Terbanyak berada di Asia dan Afrika. Inilah jumlah umat beragama terbesar sejagad. Akan tetapi jumlah besar tak berarti kuat dan maju. Tepat seperti digambarkan Dr Mahathir Mohamad bahwa dunia Islam kini berada pada titik terendah. "Tak satu pun negara Islam masuk ke dalam jajaran negara-negara maju dunia. Dunia Islam sekarang ini sangat lemah dan terbelakang.

" Oleh karena itu dalam era globalisasi saat ini terjadi hegemoni seluruh nilai, yaitu politik, budaya, dan ekonomi, oleh negara-negara Barat khususnya Amerika Serikat. Dunia Islam tersisihkan dalam kompetisi global. Bahkan beberapa negara dengan leluasa dikuasai kemerdekaannya oleh Barat. Hal tersebut terjadi antara lain karena umat Islam mengabaikan pembangunan ilmu pengetahuan dan dunia informasi yang dapat membawa pengaruh secara global. Para pemimpin umat lebih mencurahkan perhatiannya pada kajian-kajian keagamaan. Di samping itu, umat Islam juga terpuruk dalam perpecahan dan tidak mencoba untuk saling memajukan satu sama lain.

B. PEMBAHASAN
                                         
Yang dinamakan perdamaian

Sebagaimana kita ketahui, perdamaian dalam arti kata yang sebenarnya tidaklah hanya mencakup semata-mata keamanan fisik atau tidak adanya perangdan pertikaian diantara manusia dibumi kita ini . Kendatipun pengertian diatas mengandung arti yang sangat penting dan juga merupakan inti dari perdamaian sesungguhnya, tetapi keadaan perdamaian yang dilukiskan demikian itu hanyalah suatu segi pasif dan terbatas dari arti sesungguhnya, apalagi kalau kita hendak membandingkannya dengan pengertian perdamaian yang lebih luas lagi.

Perdamaian dalam arti yang lebih luas lagi adalah, “penyesuaian dan pengarahan yang baik dari orang seorang terhadap Penciptanya pada satu pihak dan kepada sesamanya pada pihak yang lain” . Hal ini berlaku bagi keseluruhan hubungan konsentris (bertitik pusat yang sama) antara seorang dengan orang lainnya, seseorang dengan masyarakat, masyarakat dengan masyarakat, bangsa dengan bangsa dan pendek kata antara keseluruhan umat manusia satu sama lainnya, dan antara manusia dan alam semesta. Perdamaian yang juga mencakup segala bidang kehidupan fisik , intelektual, akhlak dan kerohanian. Perdamaian beginilah yang merupakan ruang perhatian yang utama dari agama.

Sejak lebih dari satu abad yang lalu agama telah mendapat tekanan-tekanan dari berbagai jurusan, dalam berbagai aspek kehidupan diberbagai tempat diseluruh dunia ini. Adapun mereka yang menaruh perhatian pada agama, kendatipun mereka dalam keadaan mayoritas dari umat manusia, namun mereka masih dapat merasakan dan menyadari akan hal ini. Bahwasanya tekanan-tekanan itu telah mengakibatkan agama akan mengarah menuju keterasingan dari penghayatan pemeluk-pemeluknya . Kecendrungan ini nampak jelas sekali pada sebagian besar generasi muda dalam berbagai ragam masyarakat , selanjutnya merebak luas dengan cepatnya pada berbagai kalangan lainnya diberbagai belahan dunia.

Perdamaian yang menjadi arahan dan tujuan yang hendak diwujudkan Islam itu  adalah merupakan dorongan hatinurani yang bertitik tolak dari dalam batin manusia. Tak seorangpun akan dapat mempunyai hubungan damai dengan saudaranya, kalau ia sendiri tidak berada dalam keadaan damai dengan dirinya sendiri dan tak seorang pun berada dalam keadaan damai dengan dirinya sendiri, jika ia tidak mempunyai hubungan damai dengan Penciptanya. Masyarakat adalah perkalian dari orang-orang dan umat manusia adalah perkalian dari masyarakat dan kebudayaan-kebudayaan. Jadi inti dan saripati dari masalah perdamaian adalah bahwa orang seorang harus berada dalam keadaan damai dengan dirinya sendiri dan dengan umat manusia dan dengan sebagai akibat dari penempatan dirinya dalam hubungan damai dengan Penciptanya.

Iman dan kepercayaan

Inti dari agama adalah Iman dan Kepercayaan pada Tuhan. Dan apabila ukuran dan kesempurnaan dari kemantapan iman itu dalam kehidupan manusia disesuaikan dengan kehendak Tuhan dan dikoordinir dengan baik maka manusia secara pasti akan berada dalam keadaan damai. Iman atau kepercayaan sama sekali tidaklah terbatas pada penerimaan kebenaran dengan otak atau penalaran intelektual belaka. Iman mengandung suatu kewajiban yang berat dan dikerjakan terus menerus untuk menyesuaikan dan menselaraskan dengan kehendak dan ridha dari Pencipta kita semua.


Bagaimanakah manusia itu akan dapat memperoleh pengertian dan kesadaran akan adanya kehendak Tuhan ? Ada dari kalangan intelelektual yang merasakan dan beranggapan bahwa mereka tidak memerlukan agama untuk memperoleh pengertian dan kesadaran akan kehendak Tuhan itu . Dengan hanya mempergunakan otak saja , manusia bisa menemukan Tuhan dan mengetahui kehendak-Nya. Sepintas lalu pendapat ini nampaknya memang benar akan tetapi bila dipikirkan lebih lanjut akan kelihatan kesalahannya karena seandainya jika demikian halnya maka otak manusia adalah pencipta dari Tuhan , suatu keadaan yang sama sekali tidak dapat dipertahankan sebagai suatu kebenaran.

Dan telah menjadi fakta sejarah sepanjang kehidupan manusia , bahwasanya “kebijaksanaan Pencipta” menghendaki bahwa Tuhanlah yang menampakkan diri-Nya kepada manusia dengan jalan penzahiran sifat-sifat-Nya. Dia juga memberikan petunjuk kepada manusia, agar supaya manusia itu dapat menempatkan dirinya bersesuaian dengan kehendak Tuhan. Semua agama membenarkan prinsip ini dan dalam batasan yang ketat semua agama memang didasarkan pada wahyu dari Tuhan.

Petunjuk yang diwahyukan

Penyelidikan dan penemuan dari Sains membenarkan adanya suatu proses evolusi dalam setiap aspek kehidupan makhluk di dunia ini baik itu jasmani ataupun rohani. Demikian juga yang namanya otak manusia tidak terkecuali juga telah mengalami evolusi yang mengarah kepada kesempurnaan. Demikianlah maka petunjuk yang diwahyukan Tuhan kepada manusia juga telah diberikan dengan bertingkat-tingkat , disesuaikan dengan masa dan bangsa yang dituju sepanjang zaman. Suatu telaah perbandingan agama , objektif dan tak memihak akan meneguhkan kebenaran ini dan menguatkan adanya proses evolusi dalam petunjuk yang diwahyukan itu. Dan telah menjadi catatan sejarah peradaban bahwa petunjuk yang diwahyukan itu selamanya tidak pernah datang belakangan namun senatiasa mendahului keperluan dan kebutuhan manusia itu.

Qur’an memiliki ciri yang khas, bahwa sebagai “kata-kata Tuhan” yang asli, ia mempunyai sifat yang sama dengan alam yang dapat disebut sebagai. Pekerjaan Tuhan, yang kedua duanya adalah “hidup”. Hidup manusia dan alam semesta itu dinamis, demikian pula kehidupan Qur’an. Beberapa gambaran tentang luas ruang lingkupnya Firman Allah itu dapat kita peroleh dari ayat-ayat berikut ini:

“Katakanlah kepada mereka; ‘Jika samudera menjadi tinta untuk menuliskan kata-kata Tuhanku, maka sungguh-sungguh samudera akan habis kering sebelum kata-kata Tuhanku itu berakhir, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)”...(QS. 18:109).

“Dan seandainya pohon-pohon dibumi ini menjadi pena dan laut (menjadi tinta) lalu ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan habis habisnya (dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”....(QS. 31:27).


Saatnya evaluasi diri

Beberapa negara Islam yang kaya lebih senang menanamkan uangnya (sekaligus berarti ikut membangun) di negara-negara maju seperti di Amerika dan Eropa daripada di negara-negara dengan komunitas mayoritas Islam. Hal tersebut mengesankan bahwa mereka masih lebih mementingkan diri sendiri daripada membantu 'saudara-saudaranya'. Oleh karena itu sudah saatnya umat Islam mengevaluasi diri untuk segera bersatu dan saling membantu.

Setelah itu berusaha memberdayakan diri dengan ilmu pengetahuan dan bersikap moderat. Memang tak ada jalan pintas untuk menyelesaikan persoalan itu. Umat Islam membutuhkan waktu puluhan tahun, atau bahkan satu abad untuk bergerak maju. Namun semuanya harus dimulai dari sekarang. Kalau tidak maka dunia Barat akan tetap leluasa membelah Islam dalam dikotomi Islam moderat dan radikal seperti yang diekspos majalah Time edisi 13 September 2004. Laporan tersebut  memberikan gambaran tentang Islam yang bagi umumnya orang Barat adalah agama yang mengerikan. Islam sendiri secara agama tidak mengenal adanya ajaran radikalisme. Sayangnya, diplomasi negara- negara Islam saat ini tidak terlampau kuat untuk melawan pencitraan buruk tentang Islam karena lemahnya penguasaan informasi.

Dalam sejarahnya, penyebaran Islam di dunia, khususnya di Asia berlangsung dengan cara yang damai. Bahkan moderat. Contohnya, media komunikasinya pun menggunakan berbagai unsur budaya lokal. Di Indonesia misalnya Islam disosialisasikan melalui seni wayang, ukiran, tarian, dan lain-lain. Oleh karenanya dari sikap toleransi semacam itu kemudian lahir banyak seni budaya bernapaskan keislaman yang menjadi basis kebudayaan nasional. Bila merujuk sejarah Islam Indonesia modern pascakemerdekaan, 'moderatisme' menjadi arus utama gerakan Islam. Meski ada sejumlah umat Islam menghendaki Negara syariah untuk Indonesia, namun pada akhirnya berhasil disepakati bahwa dasar negara kita adalah Pancasila. Lalu, tahun 1960-an dan 1970-an, Islam di kawasan ini pernah menjalin hubungan harmonis dengan kekuatan Barat, AS dan sekutunya, dalam memerangi bahaya komunisme.

Sikap toleransi itu sekaligus menunjukkan bahwa Islam sejak awal merupakan agama moderat yang cinta damai, anti-kekerasan, dan tidak anti-kemajuan. Dengan demikian jelas Islam menolak segala bentuk kekerasan, mencintai perdamaian dan keadilan, serta mengajarkan nilai- nilai keutamaan, yakni menghormati kehidupan dan martabat manusia. 'Moderatisme' dalam menampilkan Islam tidak berarti mengorbankan makna Islam itu sendiri. Juga tidak berarti meliberalisasi nilai-nilai Islam. Justru Islam sedang ditampilkan secara progresif dan penuh toleransi. Tujuannya agar Islam mampu mendorong tumbuhnya masyarakat madani di Malaysia lebih popular dengan sebutan Islam Khadari (berperadaban). Dalam konteks itu maka seorang muslim moderat yang paham makna pluralisme tidak akan menjadi fanatik, tetapi cinta damai, mengedepankan harmoni, dan rasa aman bagi sesama.

Mengingat Islam adalah agama damai, maka kaum Muslimin mempunyai tugas utama membangun hidup dalam damai dengan siapa saja, apa pun agama dan keyakinannya. Rasulullah SAW telah memberikan contoh bagaimana hidup damai dan penuh toleransi dalam lingkungan yang plural. Setelah menaklukkan Makkah, Nabi Muhammad menegaskan kepada setiap orang, termasuk para musuh yang ditaklukkannya, untuk tetap merasa nyaman dan aman. Gereja-gereja dan sinagog-sinagog tetap boleh menyelenggarakan peribadatan tanpa harus ketakutan. Begitu juga ketika di Madinah, Nabi mendeklarasikan piagam yang berisi jaminan hidup bersama secara damai dengan umat agama lain.

Agama damai
Bila Islam adalah agama damai, mengapa masih ada sementara orang yang menggunakan Islam sebagai alasan untuk mengedepankan kekerasan? Banyak ahli mencoba menjawab pertanyaan tersebut. Ada yang mendefinisikan bahwa Islam fundamentalis merupakan gerakan social massif yang mengartikulasikan agama dan aspirasi peradaban dan mempertanyakan isu-isu di seputar moralitas teknologi, distribusi ala kapitalis, legitimasi non-negara, dan paradigma non-negara bangsa. Islam fundamentalis, lebih dari sekadar gerakan lokal. Ia juga beraksi dan bereaksi secara regional dan universal.

Fundamentalisme itu sendiri bisa bersifat moderat dan radikal. Ada pula yang menyebutkan bahwa fundamentalisme merupakan gejala tiap agama dan kepercayaan, yang merepresentasikan pemberontakan terhadap modernitas. Tapi kelompok ini jumlahnya tidak signifikan dibandingkan dengan jumlah umat Islam yang moderat. Mereka adalah bagian dari dinamika perkembangan Islam. Itu sebabnya kita harus mendorong tumbuhnya 'moderatisme' Islam di Indonesia, bukan saja agar umat bias menguasai ilmu pengetahuan, sadar informasi, dan bersatu, namun yang lebih penting agar Islam sebagai agama rahmatan lil 'alamin dapat terwujud secara nyata. Dengan begitu sekaligus kita berusaha mengikis habis sikap-sikap anarkis dan radikal di kalangan masyarakat, termasuk umat Islam.

Oleh karena itu agar umat Islam bisa bangkit dan mampu bekompetisi di era globalisasi ini sekaligus menciptakan umat yang cinta damai maka diperlukan banyak langkah revitalisasi nilai-nilai Islam. Dan salah satu hal penting yang dibutuhkan untuk merevitalisasi nilai-nilai Islam moderat adalah kepeloporan kepemimpinan. Kepeloporan kepemimpinan, termasuk keteladan, sekarang kurang tampak di Indonesia. Padahal seharusnya para pemimpin dan penguasa harus memiliki kesadaran dan komitmen keteladanan sebab inilah yang akan menjadi sumber legitimasi bagi pelaksanaan pemerintahan yang bersih, adil, dan efektif, khususnya dalam pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Di samping itu, generasi muda Islam harus memegang idealisme, nilai-nilai, dan prinsip-prinsip ke-Islam-an yang benar dan humanis. Dan intelektual Islam perlu bergandengan tangan membentuk dan menyusun masyarakat yang lebih manusiawi berdasarkan otoritas Islam.

Di atas itu semua salah satu kunci utama untuk menciptakan kekuatan Islam adalah dengan kembali mengukuhkan semangat ukhuwah Islamiyah. Melalui ukhuwah dan silaturahmi di antara sesama umat Islam, maka kita akan mampu bersatu. Kita juga akan dapat mengembangkan solidaritas dan kedewasaan beragama. Dengan demikian, insya Allah, umat bisa lepas dari segala bentuk provokasi dan upaya pembodohan yang menyalahgunakan nama Islam demi kepentingan egoisnya yang justru mencoreng wajah Islam. Demi terciptanya perdamaian dan kesejahteraan bersama, maka pada kesempatan ini kita mengutuk keras tindak kekerasan seperti kasus peledakan bom di dekat Kedutaan Besar Australia di Jakarta (Kamis, 9 September 2004). Kita juga berharap aparat berwenang mampu mengusut kasus ini secara hati-hati dan tuntas.

DAFTAT PUSTAKA
http://indonesia.faithfreedom.org/forum/islam-dan-dasar-dasar-perdamaian-t3467/
http://efrinaldi.multiply.com/journal/item/4
http://groups.yahoo.com/group/IslamProgresif/message/637
http://iastudies.co.cc/islam-dan-perdamaian/

Sejarah NU

Sejarah NU

Kalangan pesantren gigih melawan kolonialisme dengan membentuk organisasi pergerakan, sepertiNahdlatut Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada tahun 1916. Kemudian tahun 1918 didirikanTaswirul Afkar atau dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri (Kebangkitan Pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Selanjutnya didirikanlah Nahdlatut Tujjar, (Pergerakan Kaum Sudagar) yang dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagi kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.

Sementara itu, keterbelakangan, baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia, akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul 1908 tersebut dikenal dengan Kebangkitan Nasional. Semangat kebangkitan memang terus menyebar ke mana-mana--setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain, sebagai jawabannya, muncullah berbagai organisai pendidikan dan pembebasan.

Ketika Raja Ibnu Saud hendak menerapkan asas tunggal yakni mazhab wahabi di Mekah, serta hendak menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam maupun pra-Islam, yang selama ini banyak diziarahi karena dianggap bi'dah. Gagasan kaum wahabi tersebut mendapat sambutan hangat dari kaum modernis di Indonesia, baik kalangan Muhammadiyah di bawah pimpinan Ahmad Dahlan, maupun PSII di bahwah pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan pesantren yang selama ini membela keberagaman, menolak pembatasan bermadzhab dan penghancuran warisan peradaban tersebut.

Sikapnya yang berbeda, kalangan pesantren dikeluarkan dari anggota Kongres Al Islam di Yogyakarta 1925, akibatnya kalangan pesantren juga tidak dilibatkan sebagai delegasi dalamMu'tamar 'Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekah yang akan mengesahkan keputusan tersebut.

Didorong oleh minatnya yang gigih untuk menciptakan kebebsan bermadzhab serta peduli terhadap pelestarian warisan peradaban, maka kalangan pesantren terpaksa membuat delegasi sendiri yang dinamai dengan Komite Hejaz, yang diketuai oleh KH. Wahab Hasbullah.

Atas desakan kalangan pesantren yang terhimpun dalam Komite Hejaz, dan tantangan dari segala penjuru umat Islam di dunia, Raja Ibnu Saud mengurungkan niatnya. Hasilnya hingga saat ini di Mekah bebas dilaksanakan ibadah sesuai dengan madzhab mereka masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermadzhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah serta peradaban yang sangat berharga.

Berangkat dari komite dan berbagai organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkordinasi dengan berbagai kiai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh KH. Hasyim Asy'ari sebagi Rais Akbar.

Untuk menegaskan prisip dasar orgasnisai ini, maka KH. Hasyim Asy'ari merumuskan Kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam Khittah NU , yang dijadikan dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.

Paham Keagamaan

Nahdlatul Ulama (NU) menganut paham Ahlussunah Wal Jama'ah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli (skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya Al-Qur'an, Sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu, seperti Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi. Kemudian dalam bidang fikih mengikuti empat madzhab; Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali. Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat.

Gagasan kembali ke khittah pada tahun 1984, merupakan momentum penting untuk menafsirkan kembali ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah, serta merumuskan kembali metode berpikir, baik dalam bidang fikih maupun sosial. Serta merumuskan kembali hubungan NU dengan negara. Gerakan tersebut berhasil membangkitkan kembali gairah pemikiran dan dinamika sosial dalam NU.

Sikap Kemasyarakatan

Nahdlatul Ulama (NU) menganut paham Ahlussunah Wal Jama'ah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli (skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya Al-Qur'an, Sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu, seperti Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi. Kemudian dalam bidang fikih mengikuti empat Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali. Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat.

Gagasan kembali ke Khittah pada tahun 1984, merupakan momentum penting untuk menafsirkan kembali ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah, serta merumuskan kembali metode berpikir, baik dalam bidang fikih maupun sosial. Serta merumuskan kembali hubungan NU dengan negara. Gerakan tersebut berhasil membangkitkan kembali gairah pemikiran dan dinamika sosial dalam NU.

Basis Pendukung

Jumlah warga Nahdlatul Ulama (NU) atau basis pendukungnya diperkirakan mencapai lebih dari 40 juta orang, dari beragam profesi. Sebagian besar dari mereka adalah rakyat jelata, baik di kota maupun di desa. Mereka memiliki kohesifitas yang tinggi karena secara sosial-ekonomi memiliki masalah yang sama, selain itu mereka juga sangat menjiwai ajaran Ahlusunnah Wal Jamaah. Pada umumnya mereka memiliki ikatan cukup kuat dengan dunia pesantren yang merupakan pusat pendidikan rakyat dan cagar budaya NU.

Basis pendukung NU ini mengalami pergeseran, sejalan dengan pembangunan dan perkembangan industrialisasi. Warga NU di desa banyak yang bermigrasi ke kota memasuki sektor industri. Jika selama ini basis NU lebih kuat di sektor pertanian di pedesaan, maka saat ini, pada sektor perburuhan di perkotaan, juga cukup dominan. Demikian juga dengan terbukanya sistem pendidikan, basis intelektual dalam NU juga semakin meluas, sejalan dengan cepatnya mobilitas sosial yang terjadi selama ini.

Dinamika

Prinsip-prinsip dasar yang dicanangkan Nahdlatul Ulama (NU) telah diterjemahkan dalam perilaku kongkrit. NU banyak mengambil kepeloporan dalam sejarah bangsa Indonesia. Hal itu menunjukkan bahwa organisasi ini hidup secara dinamis dan responsif terhadap perkembangan zaman. Prestasi NU antara lain:

1. Menghidupkan kembali gerakan pribumisasi Islam, sebagaimana diwariskan oleh para walisongo dan pendahulunya.

2. Mempelopori perjuangan kebebasan bermadzhab di Mekah, sehingga umat Islam sedunia bisa menjalankan ibadah sesuai dengan madzhab masing-masing.

3. Mempelopori berdirinya Majlis Islami A'la Indonesia (MIAI) tahun 1937, yang kemudian ikut memperjuangkan tuntutan Indonesia berparlemen.

4. Memobilisasi perlawanan fisik terhadap kekuatan imperialis melalui Resolusi Jihad yang dikeluarkan pada tanggal 22 Oktober 1945.

5. Berubah menjadi partai politik, yang pada Pemilu 1955 berhasil menempati urutan ketiga dalam peroleh suara secara nasional.

6. Memprakarsai penyelenggaraan Konferensi Islam Asia Afrika (KIAA) 1965 yang diikuti oleh perwakilan dari 37 negara.

7. Memperlopori gerakan Islam kultural dan penguatan civil society di Indonesia sepanjang dekade 90-an.

Tujuan Organisasi

Menegakkan ajaran Islam menurut paham Ahlussunnah Wal Jama'ah di tengah-tengah kehidupan masyarakat, di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)

Usaha Organisasi

1. Di bidang agama, melaksanakan dakwah Islamiyah dan meningkatkan rasa persaudaraan yang berpijak pada semangat persatuan dalam perbedaan.

2. Di bidang pendidikan, menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, untuk membentuk muslim yang bertakwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas.

3. Di bidang sosial-budaya, mengusahakan kesejahteraan rakyat serta kebudayaan yang sesuai dengan nilai ke-Islaman dan kemanusiaan.

4. Di bidang ekonomi, mengusahakan pemerataan kesempatan untuk menikmati hasil pembangunan, dengan mengutamakan berkembangnya ekonomi rakyat.

5. Mengembangkan usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat luas.

Struktur

1. Pengurus Besar (tingkat Pusat)

2. Pengurus Wilayah (tingkat Propinsi)

3. Pengurus Cabang (tingkat Kabupaten/Kota)

4. Majelis Wakil Cabang (tingkat Kecamatan)

5. Pengurus Ranting (tingkat Desa/Kelurahan)

Untuk tingkat Pusat, Wilayah, Cabang, dan Majelis Wakil Cabang, setiap kepengurusan terdiri dari:

1. Mustasyar (Penasehat)

2. Syuriah (Pimpinan Tertinggi)

3. Tanfidziyah (Pelaksana Harian)

Untuk tingkat Ranting, setiap kepengurusan terdiri dari:

1. Syuriaah (Pimpinan tertinggi)

2. Tanfidziyah (Pelaksana harian)