A. PENDAHULUAN
Sebagaimana kita ketahui, perdamaian dalam arti kata yang sebenarnya tidaklah hanya mencakup semata-mata keamanan fisik atau tidak adanya perangdan pertikaian diantara manusia dibumi kita ini . Kendatipun pengertian diatas mengandung arti yang sangat penting dan juga merupakan inti dari perdamaian sesungguhnya, tetapi keadaan perdamaian yang dilukiskan demikian itu hanyalah suatu segi pasif dan terbatas dari arti sesungguhnya, apalagi kalau kita hendak membandingkannya dengan pengertian perdamaian yang lebih luas lagi.
Perdamaian dalam arti yang lebih luas lagi adalah, “penyesuaian dan pengarahan yang baik dari orang seorang terhadap Penciptanya pada satu pihak dan kepada sesamanya pada pihak yang lain” . Hal ini berlaku bagi keseluruhan hubungan konsentris (bertitik pusat yang sama) antara seorang dengan orang lainnya, seseorang dengan masyarakat, masyarakat dengan masyarakat, bangsa dengan bangsa dan pendek kata antara keseluruhan umat manusia satu sama lainnya, dan antara manusia dan alam semesta. Perdamaian yang juga mencakup segala bidang kehidupan fisik , intelektual, akhlak dan kerohanian. Perdamaian beginilah yang merupakan ruang perhatian yang utama dari agama.
Sejak lebih dari satu abad yang lalu agama telah mendapat tekanan-tekanan dari berbagai jurusan, dalam berbagai aspek kehidupan diberbagai tempat diseluruh dunia ini. Adapun mereka yang menaruh perhatian pada agama, kendatipun mereka dalam keadaan mayoritas dari umat manusia, namun mereka masih dapat merasakan dan menyadari akan hal ini. Bahwasanya tekanan-tekanan itu telah mengakibatkan agama akan mengarah menuju keterasingan dari penghayatan pemeluk-pemeluknya . Kecendrungan ini nampak jelas sekali pada sebagian besar generasi muda dalam berbagai ragam masyarakat , selanjutnya merebak luas dengan cepatnya pada berbagai kalangan lainnya diberbagai belahan dunia.
Perdamaian yang menjadi arahan dan tujuan yang hendak diwujudkan Islam itu adalah merupakan dorongan hatinurani yang bertitik tolak dari dalam batin manusia. Tak seorangpun akan dapat mempunyai hubungan damai dengan saudaranya, kalau ia sendiri tidak berada dalam keadaan damai dengan dirinya sendiri dan tak seorang pun berada dalam keadaan damai dengan dirinya sendiri, jika ia tidak mempunyai hubungan damai dengan Penciptanya. Masyarakat adalah perkalian dari orang-orang dan umat manusia adalah perkalian dari masyarakat dan kebudayaan-kebudayaan. Jadi inti dan saripati dari masalah perdamaian adalah bahwa orang seorang harus berada dalam keadaan damai dengan dirinya sendiri dan dengan umat manusia dan dengan sebagai akibat dari penempatan dirinya dalam hubungan damai dengan Penciptanya.
Inti dari agama adalah Iman dan Kepercayaan pada Tuhan. Dan apabila ukuran dan kesempurnaan dari kemantapan iman itu dalam kehidupan manusia disesuaikan dengan kehendak Tuhan dan dikoordinir dengan baik maka manusia secara pasti akan berada dalam keadaan damai. Iman atau kepercayaan sama sekali tidaklah terbatas pada penerimaan kebenaran dengan otak atau penalaran intelektual belaka. Iman mengandung suatu kewajiban yang berat dan dikerjakan terus menerus untuk menyesuaikan dan menselaraskan dengan kehendak dan ridha dari Pencipta kita semua.
Bagaimanakah manusia itu akan dapat memperoleh pengertian dan kesadaran akan adanya kehendak Tuhan ? Ada dari kalangan intelelektual yang merasakan dan beranggapan bahwa mereka tidak memerlukan agama untuk memperoleh pengertian dan kesadaran akan kehendak Tuhan itu . Dengan hanya mempergunakan otak saja , manusia bisa menemukan Tuhan dan mengetahui kehendak-Nya. Sepintas lalu pendapat ini nampaknya memang benar akan tetapi bila dipikirkan lebih lanjut akan kelihatan kesalahannya karena seandainya jika demikian halnya maka otak manusia adalah pencipta dari Tuhan , suatu keadaan yang sama sekali tidak dapat dipertahankan sebagai suatu kebenaran.
Dan telah menjadi fakta sejarah sepanjang kehidupan manusia , bahwasanya “kebijaksanaan Pencipta” menghendaki bahwa Tuhanlah yang menampakkan diri-Nya kepada manusia dengan jalan penzahiran sifat-sifat-Nya. Dia juga memberikan petunjuk kepada manusia, agar supaya manusia itu dapat menempatkan dirinya bersesuaian dengan kehendak Tuhan. Semua agama membenarkan prinsip ini dan dalam batasan yang ketat semua agama memang didasarkan pada wahyu dari Tuhan.
Petunjuk yang diwahyukan
Penyelidikan dan penemuan dari Sains membenarkan adanya suatu proses evolusi dalam setiap aspek kehidupan makhluk di dunia ini baik itu jasmani ataupun rohani. Demikian juga yang namanya otak manusia tidak terkecuali juga telah mengalami evolusi yang mengarah kepada kesempurnaan. Demikianlah maka petunjuk yang diwahyukan Tuhan kepada manusia juga telah diberikan dengan bertingkat-tingkat , disesuaikan dengan masa dan bangsa yang dituju sepanjang zaman. Suatu telaah perbandingan agama , objektif dan tak memihak akan meneguhkan kebenaran ini dan menguatkan adanya proses evolusi dalam petunjuk yang diwahyukan itu. Dan telah menjadi catatan sejarah peradaban bahwa petunjuk yang diwahyukan itu selamanya tidak pernah datang belakangan namun senatiasa mendahului keperluan dan kebutuhan manusia itu.
Qur’an memiliki ciri yang khas, bahwa sebagai “kata-kata Tuhan” yang asli, ia mempunyai sifat yang sama dengan alam yang dapat disebut sebagai. Pekerjaan Tuhan, yang kedua duanya adalah “hidup”. Hidup manusia dan alam semesta itu dinamis, demikian pula kehidupan Qur’an. Beberapa gambaran tentang luas ruang lingkupnya Firman Allah itu dapat kita peroleh dari ayat-ayat berikut ini:
“Katakanlah kepada mereka; ‘Jika samudera menjadi tinta untuk menuliskan kata-kata Tuhanku, maka sungguh-sungguh samudera akan habis kering sebelum kata-kata Tuhanku itu berakhir, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)”...(QS. 18:109).
“Dan seandainya pohon-pohon dibumi ini menjadi pena dan laut (menjadi tinta) lalu ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan habis habisnya (dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”....(QS. 31:27).
Saatnya evaluasi diri
Setelah itu berusaha memberdayakan diri dengan ilmu pengetahuan dan bersikap moderat. Memang tak ada jalan pintas untuk menyelesaikan persoalan itu. Umat Islam membutuhkan waktu puluhan tahun, atau bahkan satu abad untuk bergerak maju. Namun semuanya harus dimulai dari sekarang. Kalau tidak maka dunia Barat akan tetap leluasa membelah Islam dalam dikotomi Islam moderat dan radikal seperti yang diekspos majalah Time edisi 13 September 2004. Laporan tersebut memberikan gambaran tentang Islam yang bagi umumnya orang Barat adalah agama yang mengerikan. Islam sendiri secara agama tidak mengenal adanya ajaran radikalisme. Sayangnya, diplomasi negara- negara Islam saat ini tidak terlampau kuat untuk melawan pencitraan buruk tentang Islam karena lemahnya penguasaan informasi.
Dalam sejarahnya, penyebaran Islam di dunia, khususnya di Asia berlangsung dengan cara yang damai. Bahkan moderat. Contohnya, media komunikasinya pun menggunakan berbagai unsur budaya lokal. Di Indonesia misalnya Islam disosialisasikan melalui seni wayang, ukiran, tarian, dan lain-lain. Oleh karenanya dari sikap toleransi semacam itu kemudian lahir banyak seni budaya bernapaskan keislaman yang menjadi basis kebudayaan nasional. Bila merujuk sejarah Islam Indonesia modern pascakemerdekaan, 'moderatisme' menjadi arus utama gerakan Islam. Meski ada sejumlah umat Islam menghendaki Negara syariah untuk Indonesia, namun pada akhirnya berhasil disepakati bahwa dasar negara kita adalah Pancasila. Lalu, tahun 1960-an dan 1970-an, Islam di kawasan ini pernah menjalin hubungan harmonis dengan kekuatan Barat, AS dan sekutunya, dalam memerangi bahaya komunisme.
Sikap toleransi itu sekaligus menunjukkan bahwa Islam sejak awal merupakan agama moderat yang cinta damai, anti-kekerasan, dan tidak anti-kemajuan. Dengan demikian jelas Islam menolak segala bentuk kekerasan, mencintai perdamaian dan keadilan, serta mengajarkan nilai- nilai keutamaan, yakni menghormati kehidupan dan martabat manusia. 'Moderatisme' dalam menampilkan Islam tidak berarti mengorbankan makna Islam itu sendiri. Juga tidak berarti meliberalisasi nilai-nilai Islam. Justru Islam sedang ditampilkan secara progresif dan penuh toleransi. Tujuannya agar Islam mampu mendorong tumbuhnya masyarakat madani di Malaysia lebih popular dengan sebutan Islam Khadari (berperadaban). Dalam konteks itu maka seorang muslim moderat yang paham makna pluralisme tidak akan menjadi fanatik, tetapi cinta damai, mengedepankan harmoni, dan rasa aman bagi sesama.
Agama damai
Oleh karena itu agar umat Islam bisa bangkit dan mampu bekompetisi di era globalisasi ini sekaligus menciptakan umat yang cinta damai maka diperlukan banyak langkah revitalisasi nilai-nilai Islam. Dan salah satu hal penting yang dibutuhkan untuk merevitalisasi nilai-nilai Islam moderat adalah kepeloporan kepemimpinan. Kepeloporan kepemimpinan, termasuk keteladan, sekarang kurang tampak di Indonesia. Padahal seharusnya para pemimpin dan penguasa harus memiliki kesadaran dan komitmen keteladanan sebab inilah yang akan menjadi sumber legitimasi bagi pelaksanaan pemerintahan yang bersih, adil, dan efektif, khususnya dalam pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Di samping itu, generasi muda Islam harus memegang idealisme, nilai-nilai, dan prinsip-prinsip ke-Islam-an yang benar dan humanis. Dan intelektual Islam perlu bergandengan tangan membentuk dan menyusun masyarakat yang lebih manusiawi berdasarkan otoritas Islam.